Bagaimana agama dan kepercayaan menjabarkan perkawinan dan bagaimana perkawinan menerapkan agama dan kepercayaan?
Mungkin secara normatif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat menjawabnya. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[1]. Pengertian tersebut menegaskan bahwa perkawinan berhubungan erat dengan agama dan kepercayaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyerahkan syarat-syarat perkawinan berdasarkan agama dari masing-masing mempelai. Sebagaimana diatur di dalam pasal 2 undang-undang tersebut bahwa perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu[2]. Berdasarkan pengertian dan pemahaman tersebut kita tidak dapat memisahkan perkawinan dari unsur agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Perkawinan yang berkembang di masyarakat juga tidak hanya dapat dilihat sebagai bentuk perjanjian yang membuahkan perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan pada dasarnya merupakan bentuk fenomena sosial di masyarakat yang melibatkan banyak pihak dalam prosesinya. Oleh karena itu, aturan-aturan yang melandasi terjadinya suatu perkawinan tidak hanya dapat ditentukan atas kehendak kedua mempelai yang melangsungkannya, melainkan sifatnya tertutup atau sudah ada ketentuan umum yang mengaturnya[3]. Perkawinan juga dinilai sakral di masyarakat karena merupakan manifestasi nasib dari seorang laki-laki dan perempuan di dalam mengarungi sisa hidupnya.
Namun, perkawinan yang dinilai sakral oleh masyarakat dalam pelaksanaannya sering kali menimbulkan permasalahan, mulai dari kekerasan di dalam rumah tangga hingga pelalaian kewajiban oleh salah satu pihak. Sejenak timbul di dalam benak penulis apakah semua ini disebabkan karena suami dan/atau istri yang belum siap dalam melangsungkan kehidupan berumah tangga ataukah terdapat faktor lainnya. Jika hal tersebut memang disebabkan karena suami dan/atau istri belum siap melangsungkan kehidupan berumah tangga, maka apakah hal itu disebabkan karena antara suami dan/atau istri belum cukup umur serta belum siap dalam melangsungkan perkawinan. Patutkah perkawinan – perkawinan seperti itu kita tautkan arti sebagai perkawinan muda. Sebenarnya bagaimanakah pelaksanaan perkawinan muda itu di masyarakat?
Perkawinan usia muda memiliki pengertian yang sangat abstrak maka yang dimaksud oleh penulis perkawinan di usia muda adalah seorang pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 21 tahun. Dasar penetapan usia tersebut berasal dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mensyaratkan bahwa seseorang pria dapat melangsungkan perkawinan ketika usianya mencapai 19 tahun dan wanita yang berusia 16 tahun[4]. Namun untuk melangsungkan perkawinan di bawah usia 21 tahun diperlukan izin dari kedua orang tua[5]. Maka dari itu, usia 21 tahun merupakan usia ketika seseorang dianggap cakap, siap, serta dapat melangsungkan pernikahan tanpa adanya izin dari orang tua.
Menurut hemat penulis definisi ataupun aturan-aturan yang terdapat di dalam ketentuan undang-undang sering kali bersifat sangat normatif. Pelaksanaan di masyarakat sering kali berbeda dari peraturan yang ada. Perkembangan masyarakat membuat fenomena-fenomena baru yang secara implisit menimbulkan syarat dan definisi yang berbeda.
Di dalam tulisan ini akan lebih lanjut diuraikan tentang fenomena perkawinan muda yang dilihat dari sudut pandang agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan disertai faktor pendorong terlaksananya perkawinan tersebut. Pada sisi lain, banyak juga masyarakat yang tidak setuju dengan konsep perkawinan muda karena mereka melihat bahwa perkawinan tersebut menimbulkan berbagai macam permasalahan.
Fenomena nikah muda yang berkembang di masyarakat berkaitan erat dengan persoalan agama ataupun kepercayaan. Banyak pasangan yang mendasari alasan pernikahannya karena atas anjuran dari ajaran agamanya ataupun mengikuti tokoh yang dipandang terhormat di dalam ajaran agamanya. Seperti contohnya beberapa tahun silam, Muhammad Alvin Faiz yang merupakan putra pertama seorang Ustadz yang cukup terkenal yaitu Muhammad Arifin Ilham, menikah dengan seorang muallafah beretnis Tionghoa kelahiran Cirebon, Jawa Barat, Larissa Chou. Pada saat itu usia Alvin 17 tahun dan Larissa 20 tahun[6].
Alasan para orang tua yang mendasari agar anaknya melaksanakan perkawinan muda adalah untuk menjauhkan anaknya dari perilaku pacaran dan pergaulan bebas sejak dini. Selanjutnya, mereka melihat bahwa perkawinan muda ini dipahami sebagai hal yang lumrah karena perkawinan muda sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan umum untuk dilakukan oleh pendahulunya. Selain itu niat yang diusung mereka adalah melakukan perintah Allah Ta’ala, menjejaki sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, dan melindungi diri dari gempuran godaan zina yang kian memekakkan hati, pikiran dan juga fisik[7].
Di sisi lainnya banyak pula masyarakat yang memiliki pandangan bahwa alasan-alasan yang disampaikan oleh beragam pihak yang setuju mengenai perkawinan muda tidaklah dijelaskan secara rasional dan jika dilihat dari sudut pandang agama Islam tidaklah bersifat mutlak seperti itu. Penyegeraan seseorang untuk perkawinan mungkin didasari dengan hadist Rasulullah agar kita menyegerakan perkawinan pada saat kita mampu dengan tujuan untuk menghindarkan kita dari perbuatan zina.
Apakah makna hadist tersebut agar menyegerakan kepada kita untuk melangsungkan perkawinan secepat mungkin ataukah mensyaratkan kita untuk terlebih dahulu mampu sebelum melaksanakan perkawinan dan apakah yang diartikan sebagai mampu itu? Pada dasarnya menurut hemat penulis, pemahaman terkait kata mampu sangat luas. Oleh karena itu, jika dapat kita sederhanakan kata mampu adalah bentuk kemampuan sebagai kecakapan pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan dalam membangun rumah tangga yang menjadi sendi kehidupan bermasyarakat serta rumah tangga yang dapat merawat dan mendidik anak-anak keturunannya sebaik mungkin[8].
Dalam hal perkawinan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perzinaan. Timbul suatu pertanyaan apakah dengan menunda perkawinan seseorang akan selalu terjerumus ke dalam jurang perzinaan[9]? Apakah dengan menunda perkawinan memberikan legitimasi seseorang untuk melakukan perzinaan? Tentunya tidak. Selain itu, menurut pihak-pihak yang tidak setuju dengan dilakukannya perkawinan muda melihat adanya dampak buruk yang lebih besar daripada manfaatnya, dampak tersebut terutama dapat kita lihat dalam bidang kesehatan.
Dalam bidang kesehatan kita harus memperhatikan dampak yang ditimbulkan kepada ibu yang mengandung dan anak yang akan dilahirkan. Kita harus memperhatikan apakah organ reproduksi dari perempuan tersebut telah cukup siap untuk melangsungkan perkawinan dan melahirkan karena tiga perempat kematian ibu terjadi pada saat melahirkan dan setelah melahirkan[10]. Kematian yang terjadi sering kali disebabkan karena fasilitas kesehatan seperti tenaga medis yang terampil dan akses transportasi menuju tempat persalinan belum tersedia dengan lengkap. Prevalensi perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah pada usia 18 tahun ke atas lebih banyak ditolong oleh tenaga kesehatan, yaitu sebesar 92,21 persen dibandingkan dengan perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun[11]. Selain itu, perkawinan muda juga memberikan dampak terhadap angka fertilitas atau anak yang dilahirkan. Sekitar 1 dari 6 Perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sudah memiliki 2 anak[12]. Data tersebut menunjukkan bahwa perkawinan muda sangat signifikan untuk meningkatkan jumlah penduduk. Padahal Indonesia sendiri merupakan negara yang sedang berusaha untuk menurunkan tingkat pertumbuhan penduduknya dengan Program Keluarga Berencana.
Pada kesimpulannya, penulis tidak ingin memberikan satu persepsi mana yang lebih baik di dalam menyikapi pemahaman untuk menyegerakan perkawinan. Antara pihak yang ingin melaksanakan perkawinan sesegera mungkin dan pihak yang ingin melangsungkan perkawinan dengan memperhatikan berbagai macam bentuk kesiapan terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka dari itu semua kembali pada pemahaman Anda masing-masing di dalam menyikapi pertentangan ini. Yang terpenting persyaratan-persyaratan formil dan materil dari perkawinan yang diatur di dalam regulasi yang berlaku saat ini dipatuhi oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Indonesia, Undang-Undang perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Ps. 1.
[2] Ibid., Ps. 2.
[3] Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Syarif, Mengenal Hukum Perdata, ed. 1, cet. 1 (Jakarta: Gitama Jaya, 2008), hlm. 46.
[4] Indonesia, Undang-Undang perkawinan, UU rNo. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Ps. 7.
[5] Ibid., Ps. 6.
[6] https://bersamadakwah.net/nikah-muda/, Diakses pada 13 Maret 2019
[7] Ibid., Diakses pada 13 Maret 2019
[8] http://www.nu.or.id/post/read/70640/benarkah-nikah-muda-anjuran-agama, Diakses pada 17 Maret 2019
[9] Ibid., Diakses pada 17 Maret 2019
[10] Badan Pusat Statistik, Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2007), hlm. 39.
[11] Ibid., hlm. 39.
[12] Ibid., hlm. 43.
Editor: Joel Valerian (Staf Departemen Hubungan Masyarakat, FMIPA 2018)
Ilustrator: Frederik Agnar Widjaja (Wakil Kepala Departemen Hubungan Masyarakat, FH 2017)
Salam,
KSM Eka Prasetya UI
Bernalar Membangun Negeri
Artikel asli: https://ksm.ui.ac.id/menikah-muda-dalam-pandangan-agama-dan-kepercayaan-di-masyarakat/
Comments are closed.